TAKIKARDI
SUPRAVENTRIKULAR
DEFINISI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
Takikardi supraventrikular (TSV) adalah
satu jenis takidisritmia yang ditandai dengan perubahan laju jantung yang
mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara 150 kali/menit sampai 250
kali/menit. Kelainan pada TSV mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi di
bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan TSV mempunyai kompleks QRS normal.
Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan gagal
jantung (Aslinar, 2010).
Supraventrikular takikardi (SVT) adalah
detak jantung yang cepat dan reguler berkisar antara 150-250 denyut per menit.
SVT sering juga disebut Paroxysmal Supraventrikular Takikardi (PSVT).
Paroksismal disini artinya adalah gangguan tiba-tiba dari denyut jantung yang
menjadi cepat
IDENTIFIKASI
Bila kita perhatikan SVT dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
- Denyut jantung yang cepat, disebut takikardi yang artinya denyut jantung melebihi > 100 denyut per menit. Pada SVT denyut jantung ini berkisar antara 150-250 denyut per menit.
- Denyut jantung yang reguler (dapat dilihat dari kompleks QRS yang teratur) dengan gelombang P yang superimposed dengan komplek QRS (tidak terlihat gelombang P).
- Komplek QRS sempit (QRS < 0,12 detik atau 3 kotak kecil)
PENYEBAB
Pada keadaan normal, impuls elektrik dihasilkan oleh pacemaker yang disebut SA node. Impuls elektrik ini akan diteruskan ke ventrikel melalui AV node, dimana pada nodus ini akan terjadi perlambatan impuls. Selanjutnya impuls ini akan disebarkan ke seluruh ventrikel.
Pada SVT /PSVT, terjadi gangguan konduksi impuls yang menyebabkan atrium dan kemudian ventrikel berdenyut sangat cepat. Disebut paroksismal karena denyut yang cepat ini dapat terjadi tiba-tiba.
Pada keadaan normal, impuls elektrik dihasilkan oleh pacemaker yang disebut SA node. Impuls elektrik ini akan diteruskan ke ventrikel melalui AV node, dimana pada nodus ini akan terjadi perlambatan impuls. Selanjutnya impuls ini akan disebarkan ke seluruh ventrikel.
Pada SVT /PSVT, terjadi gangguan konduksi impuls yang menyebabkan atrium dan kemudian ventrikel berdenyut sangat cepat. Disebut paroksismal karena denyut yang cepat ini dapat terjadi tiba-tiba.
Bagaimana mekanisme terjadinya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat
impuls yang dihasilkan oleh SA node dialirkan ke AV node, tiba-tiba terjadi
gangguan konduksi yang biasanya disebabkan oleh ”atrial premature beat”, dimana
terjadi transient blok pada satu sisi dari sistem konduksi (di ibaratkan
berbentuk cincin ). Normalnya impuls yang masuk disebarkan melalui dua arah
dari kanan dan kiri. Bila terjadi blok pada satu sisi, maka impuls akan
berjalan melalui sisi satunya lagi. Pada saat blok tersebut menghilang maka
impuls tersebut akan berjalan terus melintasi area tersebut dan terciptalah
suatu sirkuit tertutup yang disebut ”circus movement”. Pada saat ini SA node
tidak bertindak sebagai pacemaker primary namun terdapat jalur aksesori kecil
(circus movement) yang memiliki impuls yang berputar-putar secara terus-menerus
dengan cepat. Setiap kali impuls dari sistem ini sampai ke AV node makan impuls
ini akan diteruskan ke ventrikel. Oleh sebab itu pada gambaran ECG komplek QRS
tampak normal. Pada gambaran ECG gelombang P bisa tampak terbalik (oleh karena
lintasan impuls yang terbalik), namun pada kebanyakan kasus depolarisasi atrium
dan ventrikel terjadi hampir bersamaan sehingga gelombang P menghilang atau
superimposed dengan kompleks QRS.
ELEKTROFISIOLOGI TAKIKARDI
SUPRAVENTRIKULAR
Gangguan irama jantung secara
elektrofisiologi disebabkan oleh gangguan pembentukan rangsang, gangguan
konduksi rangsang dan gangguan pembentukan serta penghantaran rangsang.
1.
Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan ini dapat terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang
terbentuk secara aktif di luar urutan jaras hantaran normal, seringkali
menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila terbentuk secara pasif sering
menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).
a.
Irama ektopik timbul karena pembentukan
rangsang ektopik secara aktif dan fenomena reentry
b.
Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan
bila rangsang normal tidak atau belum sampai pada waktu tertentu dari irama
normal, sehingga bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu
bekerja secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan instrinsik yang memacu
jantung berkontraksi.
c.
Active ectopic firing terjadi pada keadaan
dimana terdapat kenaikan kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian
otot jantung yang melebihi keadaan normal.
d.
Reentry terjadi bila pada sebagian otot
jantung terjadi blokade unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah
antegrad) dimana rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd melalui
bagian yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya dilampaui. Keadaan
ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila reentry terjadi secara cepat
dan berulang-ulang, atau tidak teratur (pada beberapa tempat), maka dapat
menimbulkan keadaan takikardi ektopik atau fibrilasi.
2.
Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran
(konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut mengakibatkan
tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian miokard yang seharusnya
menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada
tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai dari nodus SA atrium, nodus AV,
jaras HIS, dan cabang-cabang jaras kanan kiri sampai pada percabangan purkinye
dalam miokard.
3.
Gangguan pembentukan dan konduksi
rangsangan
Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan pembentukan
rangsang bersama gangguan hantaran rangsang.
KLASIFIKASI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
Terdapat 3 jenis TSV yang sering ditemukan
pada bayi dan anak, yaitu:
1.
Takikardi atrium primer (takikardi atrial
ektopik)
Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar diobati.
Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena
pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama. Pada
takikardi atrium primer, tampak adanya gelombang “p” yang agak berbeda dengan
gelombang p pada waktu irama sinus, tanpa disertai pemanjangan interval PR.
Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal
(jaras tambahan).
2.
Atrioventricular re-entry tachycardia
(AVRT)
Pada AVRT pada sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW) jenis orthodromic,
konduksi antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow conduction) sedangkan
konduksi retrograd terjadi pada jaras tambahan (fast conduction). Kelainan yang
tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS yang sempit dengan
gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS dan terbalik. Pada jenis
yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras tambahan sedangkan
konduksi retrograd terjadi pada jaras his-purkinye. Kelainan pada EKG yang
tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS yang lebar dengan gelombang p yang
terbalik dan timbul pada jarak yang jauh setelah kompleks QRS.
3.
Atrioventricular nodal reentry tachycardia
(AVNRT)
Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini
merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi dan anak.
Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika konduksi
antegrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi retrograd terjadi
pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut juga jenis typical (slow-fast)
atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan
kompleks QRS sempit dengan gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS
tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak tampak karena gelombang p
tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika konduksi antegrad terjadi pada
sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi pada sisi lambat, jenis ini disebut
jenis atypical (fast-slow) atau antidromic. Kelainan yang tampak pada EKG
adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dan gelombang p terbalik dan timbul
pada jarak yang cukup jauh setelah komplek QRS. \
PENYEBAB TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
1.
Idiopatik, ditemukan pada hampir setengah
jumlah pasien. Tipe idiopatik ini biasanya terjadi lebih sering pada bayi
daripada anak.
2.
Sindrom Wolf Parkinson White (WPW)
terdapat pada 10-20% kasus dan terjadi hanya setelah konversi menjadi sinus
aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan interval PR yang pendek
daninterval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan langsung antara
atrium dan ventrikel melalui jaras tambahan.
3.
Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali
Ebstein’s, single ventricle, L-TGA)
TANDA DAN GEJALA TAKIKARDI
SUPRAVENTRIKULAR
1.
Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi
); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur,
bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat, sianosis, berkeringat; edema;
haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.
Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
2.
Nyeri dada ringan sampai berat, dapat
hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
3.
Napas pendek, batuk, perubahan
kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi)
mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri
(edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
4.
Demam; kemerahan kulit (reaksi obat);
inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus
otot/kekuatan
PATOFISIOLOGI TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR
Berdasarkan pemeriksaan
elektrofisiologi intrakardiak, terdapat dua mekanisme terjadinya takikardi
supraventrikular yaitu Otomatisasi (automaticity) dan Reentry. Irama ektopik
yang terjadi akibat otomatisasi sebagai akibat adanya sel yang mengalami
percepatan (akselerasi) pada fase 4 dan sel ini dapat terjadi di atrium, A-V
junction, bundel HIS, dan ventrikel. Struktur lain yang dapat menjadi
sumber/fokus otomatisasi adalah vena pulmonalis dan vena kava superior. Contoh
takikardi otomatis adalah sinus takikardi. Ciri peningkatan laju nadi secara
perlahan sebelum akhirnya takiaritmia berhenti. Takiaritmia karena otomatisasi
sering berkaitan dengan gangguan metabolik seperti hipoksia, hipokalemia,
hipomagnesemia, dan asidosis. Ini adalah mekanisme yang terbanyak sebagai
penyebab takiaritmia dan paling mudah dibuktikan pada pemeriksaan
elektrofisiologi. Syarat mutlak untuk timbulnya reentry adalah Adanya dua jalur
konduksi yang saling berhubungan baik pada bagian distal maupun proksimal
hingga membentuk suatu rangkaian konduksi tertutup. Salah satu jalur tersebut
harus memiliki blok searah. Aliran listrik antegrad secara lambat pada jalur
konduksi yang tidak mengalami blok memungkinkan terangsangnya bagian distal
jalur konduksi yang mengalami blok searah untuk kemudian menimbulkan aliran
listrik secara retrograd secara cepat pada jalur konduksi tersebut.
PENATALAKSANAAN
1.
Penatalaksanaan segera
a.
Pemberian adenosin. Adenosin merupakan
nukleotida endogen yang bersifat kronotropik negatif, dromotropik, dan
inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi
pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari aliran
darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit.
Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga akan memutuskan
sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal terhadap
kontraktilitas jantung.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi TSV karena dapat menghilangkan hampir semua TSV. Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250 µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi TSV karena dapat menghilangkan hampir semua TSV. Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250 µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma.
b.
Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid
mungkin juga efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan
atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV.
Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading dose diberikan.
c.
Digoksin dilaporkan juga efektif untuk
mengobati kebanyakan TSV pada anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk
penghentian segera TSV dan sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar
dengan WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras tambahan.
Digitalisasi dipakai pada bayi tanpa gagal jantung kongestif. Penelitian oleh
Wren dkk tahun 1990, pada 29 bayi dengan TSV, pengobatan efektif dengan
digoksin. Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh
inotropiknya maupun melalui blokade nodus AV yang ditengahi vagus.
d.
Bila adenosin tidak bisa digunakan serta
adanya tanda gagal jantung kongestif atau kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC
shock tersedia, dianjurkan penggunaan direct current synchronized cardioversion
dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup
efektif. DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan puncak gelombang QRS,
karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi
ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock
oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel. Apabila
terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak
sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan
tindakan invasif.
e.
Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih
alternatif kedua yaitu preparat digitalis secara intravena. Dosis yang
dianjurkan pada pemberian pertama adalah sebesar ½ dari dosis digitalisasi
(loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut
berselang 8 jam.
f.
Bila pasien tidak mengalami gagal jantung
kongestif, adenosin tidak bisa digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus
intravena phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat ke irama sinus.
Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan mengubah
takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neo-synephrine)
sama halnya dengan sedrophonium (tensilon) yang meningkatkan reflek vagal
seperti juga efek anti aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode
ini tidak direkomendasikan pada bayi dengan CHF karena dapat meningkatkan
afterload sehingga merugikan pada bayi dengan gagal jantung. Dosis phenylephrin
10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg cairan intravena diberikan secara drip dengan
pengawasan doketr terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi
150-170 mmHg.
g.
Price dkk pada tahun 2002, menggunakan
pengobatan dengan flecainide dan sotalol untuk TSV yang refrakter pada anak
yang berusia kurang dari 1 tahun. Flecainide dan sotalol merupakan kombinasi
baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol TSV yang refrakter.
h.
Penelitian oleh Etheridge dkk tahun 1999,
penggunaan beta bloker efektif pada 55% pasien. Selain itu juga penggunaan obat
amiodarone juga berhasil pada 71% pasien dimana di antaranya sebagai kombinasi
dengan propanolol. Keberhasilan terapi memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone
dipakai sebagai pilihan terapi pada beberapa pasien karena hanya diminum 1x
sehari. Semua pasien yang diterapi dengan amiodarone, harus diperiksa tes
fungsi hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan. Propanolol dapat digunakan secara
hati-hati, sering efektif dalam memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial
ektopik.
2.
Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang TSV.
Di antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala TSV, kurang lebih
sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien
dengan takikardi atrial automatic akan mengalami resolusi sendiri. Berat ringan
gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan merupakan pertimbangan
penting untuk pengobatan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan simptomatik akan membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron, terutama untuk tahun pertama kehidupan.
Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi propanolol jangka panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten digunakan procainamid, quinidin, flecainide, propafenone, sotalol dan amiodarone.Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dilakukan pada usia 2 sampai 5 tahun bila TSV refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau ablasi pembedahan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan simptomatik akan membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron, terutama untuk tahun pertama kehidupan.
Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi propanolol jangka panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten digunakan procainamid, quinidin, flecainide, propafenone, sotalol dan amiodarone.Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dilakukan pada usia 2 sampai 5 tahun bila TSV refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau ablasi pembedahan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG TAKIKARDI
SUPRAVENTRIKULAR
1.
EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan
gangguan konduksi. Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan
elektrolit dan obat jantung.
2.
Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam)
mungkin diperlukan untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala
khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3.
Foto dada : Dapat menunjukkanpembesaran
bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup.
4.
Skan pencitraan miokardia : dapat
menunjukkan aea iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi
normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa.
5.
Tes stres latihan : dapat dilakukan untuk
mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan disritmia.
6.
Elektrolit : Peningkatan atau penurunan
kalium, kalsium dan magnesium dapat mnenyebabkan disritmia.
7.
Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan
toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan atau dugaan interaksi obat contoh
digitalis, quinidin.
8.
Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau
penururnan kadar tiroid serum dapat menyebabkan.meningkatkan disritmia.
9.
Laju sedimentasi : Penignggian dapat
menunukkan proses inflamasi akut contoh endokarditis sebagai faktor pencetus
disritmia.
10. GDA/nadi oksimetri : Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi
disritmia.
PENGKAJIAN
1.
Pengkajian primer :
a.
Airway
·
Apakah ada peningkatan sekret ?
·
Adakah suara nafas : krekels ?
b.
Breathing
·
Adakah distress pernafasan ?
·
Adakah hipoksemia berat ?
·
Adakah retraksi otot interkosta, dispnea,
sesak nafas ?
·
Apakah ada bunyi whezing ?
c.
Circulation
·
Bagaimanakan perubahan tingkat kesadaran ?
·
Apakah ada takikardi ?
·
Apakah ada takipnoe ?
·
Apakah haluaran urin menurun ?
·
Apakah terjadi penurunan TD ?
·
Bagaimana kapilery refill ?
·
Apakah ada sianosis ?
2.
Pengkajian sekunder
a.
Riwayat penyakit
1.
Faktor resiko keluarga contoh penyakit
jantung, stroke, hipertensi
2.
Riwayat IM sebelumnya (disritmia),
kardiomiopati, GJK, penyakit katup jantung, hipertensi
3.
Penggunaan obat digitalis, quinidin dan
obat anti aritmia lainnya kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi
4.
Kondisi psikososial
b.
Pengkajian fisik
1.
Aktivitas : kelelahan umum
2.
Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau
hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak
teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal
pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah jantung
menurun berat.
3.
Integritas ego : perasaan gugup, perasaan
terancam, cemas, takut, menolak,marah, gelisah, menangis.
4.
Makanan/cairan : hilang nafsu makan,
anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual muntah, peryubahan berat badan,
perubahan kelembaban kulit
5.
Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit
kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.
6.
Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan
sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
7.
Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas
pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan
(krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti
pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal;
hemoptisis.
8.
Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi
obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus
otot/kekuatan
DIAGNOSA DAN INTERVENSI TAKIKARDI
SUPRAVENTRIKULAR
1.
Penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan denyut/irama jantung, perubahan sekuncup jantung: preload, afterload,
penurunan kontraktilitas miokard.
Tujuan: Penuruanan curah jantung teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
·
Pasien tidak mengeluh pusing
·
Pasien tidak mengeluh sesak
·
EKG normal
·
Kulit elastis BB normal
·
Suhu: 36-37°C/axila
·
Pernapasan 12-21x/mnt
·
Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
·
Nadi 60-100x/mnt
Intervensi:
1.
Ukur tanda-tanda vital: Tekanan darah,
pernapasan, suhu, nadi.
R/mengetahui keadaan pasien
R/mengetahui keadaan pasien
2.
Monitor bunyi napas, bunyi jantung
R/mengetahui perubahan napas /bunyi jantung
3.
Monitor edema
R/mengetahui keadaan pasien
4.
Batasi garam sesuai program
R/menghindari penimbunan cairan
5.
Anjurkan untuk bed rest
R/mempercepat pemulihan kondisi
6.
Beri posisi semi fowler
R/memenuhi kebutuhan oksigen
7.
Kolaborasi/lanjutkan program EKG
R/mengetahui kelainan jantung
8.
Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen
R/mencukupi kebutuhan oksigen
9.
Kolaborasi/lanjutkan terapi obat
R/mempercepat proses penyembuhan
2.
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri
biologis, fisik.
Tujuan: Nyeri akut teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam dengan kriteria hasil:
1.
Pasien tidak mengeluh nyeri
2.
Pasein tidak mengeluh sesak
3.
Pernapasan 12-21x/mnt
4.
Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
5.
Nadi 60-100x/mnt
Intervensi:
1.
Ukur tanda-tanda vital: tekanan darah,
nadi, pernapasan, suhu, saturasi R/mengetahui kondisi pasien
2.
Monitor derajat dan kualitas nyeri
(PQRST)? R/mengetahui rasa nyeri yang dirasakan
3.
Ajarkan teknik distraksi/relaksasi/napas dalam
R/mengurangi rasa nyeri
4.
Beri posisi nyaman R/untuk mengurangi rasa
nyeri
5.
Beri posisi semifowler R/memenuhi kebutuhan
oksigen
6.
Libatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan pasien R/memenuhi kebutuhan pasien
7.
Anjurkan untuk cukup istirahat R/mempercepat
proses penyembuhan
8.
Kolaborasi/lanjutkan pemberian analgetik;
nama, dosis, waktu, cara, indikasi R/mengurangi rasa nyeri
3.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan
keterbatasan paparan, tidak familiar dengan sumber informasi.
Tujuan: Pengetahuan pasien bertambah setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x45 menit dengan kriteria hasil:
1.
Pasien bisa menjelaskan pengertian
2.
Bisa menyebutkan penyebab
3.
Bisa menyebutkan tanda dan gejala
4.
Bisa menyebutkan perawatan
5.
Bisa menyebutkan pencegahan
Intervensi:
1.
Kontrak waktu, tempat, dan topik dengan
pasien R/menetapkan waktu, tempat, dan topik untuk pendidikan kesehatan
2.
Berikan pendidikan kesehatan R/meningkatkan
pengetahuan pasien
3.
Evaluasi pengetahuan pasien R/mengetahui
keberhasilan pendidikan kesehatan
4.
Anjurkan kepada klien untuk melakukan apa
yang telah disampaikan dalam pendidikan kesehatan R/mengingatkan kembali pada
pasien
4.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
fisik.
Tujuan: Intoleransi aktivitas teratasi
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam dengan kriteria hasil:
1.
Pasien tidak mengeluh lemas
2.
Pasien tidak mengeluh pusing
3.
Pasien tidak mengeluh sesak napas
4.
Pernapasan 12-21x/mnt
5.
Tekanan darah 120-129/80-84mmHg
6.
Nadi 60-100x/mnt
7.
CRT: <3 detik
Intervensi:
1.
Ukur tanda-tanda vital: Tekanan darah,
pernapasan, suhu, nadi. R/mengetahui keadaan pasien
2.
Monitor kemampuan aktivitas pasien R/mengetahui
kemampuan pasien
3.
Anjurkan untuk cukup istirahat R/mempercepat
pemulihan kondisi
4.
Beri posisi semi fowler R/memenuhi
kebutuhan oksigen
5.
Libatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan pasien R/mencukupi kebutuhan pasien
6.
Bantu aktivitas pasien secara bertahap R/mengurangi
bebar kerja pasien
7.
Beri cukup nutrisi sesuai dengan diet R/mempercepat
pemulihan kondisi
8.
Kolaborasi/lanjutkan terapi oksigen R/mencukupi
kebutuhan oksigen
9.
Kolaborasi/lanjutkan pemberian obat; nama,
dosis, waktu, cara, rute R/mempercepat penyembuhan
DAFTAR PUSTAKA
Hudak, C.M, Gallo B.M. Keperawatan Kritis
: Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC.
1997 Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi
: konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. Editor
Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ; 1994. Santoso Karo karo. Buku Ajar
Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1996 Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo,
dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001. Doenges, Marilynn E.
Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan pendokumentasian
Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
Hanafi B. Trisnohadi. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar