GONORHEA
2.1 Definisi
Gonorhea adalah sebuah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhea yang penularannya melalui hubungan
kelamin baik melalui genito-genital, oro-genital, ano-genital. Penyakit ini
menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan
konjungtiva. (Brunner dan Suddarth,2001)
Gonorhea adalah sebuah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhea yang penularannya melalui hubungan
kelamin baik melalui genito-genital, oro-genital, ano-genital. Penyakit ini
menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan
konjungtiva. Gonore dapat menyebar melalui aliran darah ke
bagian tubuh lain terutama kulit dan persendian. Pada wanita, gonore bisa
menjalar ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam panggul sehingga
menyebabkan nyeri pinggul dan gangguan reproduksi.
Tidak semua orang yang terpajan gonore akan terjangkit
penyakit, dan resiko penularan dari laki – laki kepada perempuan lebih tinggi
daripada penularan perempuan kepada laki – laki, terutama karena lebih luasnya
selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama, divagina. Setelah
terinolkulasi, infeksi dapat menyebar ke prostat, vas deferent, vesicular
semminalis, epididimis, dan testis pada laki-laki dan ke uretra, kelenjar
skene, kelenjar bartolin, endometrium, tube falopi, dan rongga peritoneum
menyebabkan PID pada perempuan.
PID adalah menyebab utama infertilitas pada perempuan.
Infeksi gonokokus dapat menyebar melalui aliran darah, menimbulkan bakteremia
gonokokus. Bakteremia dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan tetapi
apabila dibandingkan lebih sering terjadi pada perempuan. Perempuan beresiko
tinggi mengalami penyebaran infeksi pada saat haid. Penularan perinatal kepada
bayi saat lahir, melalui os servik yang terinfeksi, dapat menyebabkan
konjungtivitis dan akhirnya kebutaan pada bayi apabila tidak diketahui dan
diobati.
2.2 Etiologi
Penyebab pasti penyakit gonore adalah bakteri Neisseria
gonorrhea / Gonokok yang bersifat
patogen yang di temukan oleh Neisser dari Polandia pada tahun1879 dan baru
diumumkan apada tahun 1882. Kuman tersebut termasuk dalam grup Neisseria dan
dikenal ada 4 spesies, yaitu N.
gonorrhoeae dan N. meningitidis yang bersifat patogen serta N. cattarrhalis dan
N. pharyngis sicca yang bersifat komensal. Keempat spesies ini sukar dibedakan
kecuali dengan tes fermentasi.
Gonokok termasuk golongan diplokok berbentuk bji kopi
berukuran lebar 0,8 u dan panjang 1,6 u bersifat tahan asam. Pada sediaan
langsung dengan pewarna gram bersifat gramnegatif , terlihat di luar dan di
dalam leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan
kering , tidak tahan suhu di atas 39°C dan tidak tahan zat disinfektan. Secara
marfalogi gonogok terdiri atas 4 tipe ,yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai pili
yang yang bersifat virulen dan bersifat nonvirulen pili akan melekat pada
mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi radang.
Kuman Neisseria gonorrhea paling mudah menginfeksi daerah dengan
mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang atau imatur,
misalnya pada vagina wanita yang belum pubertas.
Galur N. gonorrhoeae penghasil penisilinase (NGPP)
merupakan galur gonokokus yang mampu menghasilkan enzim penisilinase atau
beta-laktamase yang dapat merusak penisilin menjadi senyawa inaktif, sehingga
sukar diobati dengan penisilin dan derivatnya, walaupun gejala dengan
peninggian dosis
Bakteri ini melekat dan menghancurkan membrane sel
epitel yang melapisi selaput lender, terutama epitel yang melapisi kanalis
endoserviks dan uretra. Infeksi ekstragenital di faring, anus, dan rectum dapat
dijumpai pada kedua jenis kelamin. Untuk dapat menular, harus terjadi kontak
langsung mukosa ke mukosa.
2.3 Faktor
Resiko
Studi
Epidemiologi menunjukkan faktor-faktor risiko terjadinya gonore meliputi :
1. Adanya sumber penularan penyakit
2. Bergonta – ganti pasangan seksual
3. Tidak menggunakan kondom pada saat
berhubungan seksual , penggunaan kondom hanya sebagai pencegah kehamilan bukan
sebagai pencegah penularan penyakit gonore, prostitusi, kebebasan individu dan
ketidaktahuan serta keterbatasan sarana penunjang. (Daili, 2005 :4).
2.5 Tanda
dan Gejala
a) Pada pria
1.
Masa tunas
gonore sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi antara 2-5 hari, kadang -
kadang lebih lama karena pengobatan diri sendiri tapi dengan dosis yang tidak
cukup atau gejala sangat samar sehingga tidak diperhatikan.
2.
Gejalanya
berawal sebagai rasa tidak enak pada uretra kemudian diikuti nyeri ketika
berkemih
3.
Disuria yang
timbul mendadak, rasa buang air kecil disertai dengan keluarnya lendir mukoid
dari uretra
4.
Retensi urin
akibat inflamasi prostat
5.
Keluarnya
nanah dari penis atau kadang-kadang sedikit mengandung darah.
6.
Tempat masuk
kuman pada pria di uretra manimbulkan uretritis. Yang paling sering adalah
uretritis anterior akut dan dapat menjalar sehingga terjadi komplikasi.
Komplikasi bisa berupa komplikasi lokal, yaitu : tisonitis, parauretritis,
littritis, dan cowperitis. Komplikasi asenden, yaitu : prostatitis, vesikulitis
vas deferentitis/funikulitis epididimitis, trigonitis ; dan komplikasi diseminata.
7.
Keluhan
subyektif berupa rasa gatal, panas sewaktu kencing terdapat pada ujung penis
atau bagian distal uretra, perasaan nyeri saat ereksi.
b) Pada wanita
1.
Gejala awal
biasanya timbul dalam waktu 7-21 hari setelah terinfeksi
2.
Penderita
seringkali tidak merasakan gejala selama beberapa minggu atau bulan
(asimtomatis)
3.
Jika timbul gejala, biasanya bersifat ringan.
Namun, beberapa penderita menunjukkan gejala yang berat seperti desakan untuk
berkemih
4.
Nyeri ketika
berkemih
5.
Keluarnya
cairan dari vagina
6.
Demam
7.
Infeksi
dapat menyerang leher rahim, rahim, indung telur, uretra, dan rektum serta
menyebabkan nyeri pinggul yang dalam ketika berhubungan seksual
8.
Pada
pemeriksaan, serviks tampak merah dengan erosi dan sekret mukopurulen. Wanita
dan pria homoseksual yang melakukan hubunga seks melalui anus, dapat menderita
gonore di rektumnya. Penderita akan merasa tidak nyaman disekitar anusnya dan
dari rektumnya keluar cairan. Daerah disekitar anus tampak merah dan kasar
serta tinja terbungkus oleh lendir dan nanah.
9.
Pada umumnya
terdapat rasa sakit pada punggung bagian bawah, bersama-sama keadaan tidak enak
badan
2.6
Komplikasi
a) Pada Pria
1. Tysonitis,
biasanya terjadi pada pasien dengan preputium yang sangat panjang dan
kebersihan yang kurang baik. Diagnosis dibuat berdasarkan ditemukannya butir
pus atau pembengkakan pada daerah frenulum yang nyeri tekan. Bila duktus
tertutup akan menjadi akses dan merupakan sumber infeksi laten.
2. Parauretritis,
sering pada orang dengan orifisium uretra eksternum terbuka atau hipospadia.
Infeksi pada duktus ditandai dengan butir pus pada kedua muara parauretra.
3. Radang
kelenjar Littre (littritis), tidak mempunyai gejala khusus. Pada urin ditemukan
benang-benang atau butir-butir. Bila salah satu saluran tersumbat dapat terjadi
abses folikular. Diagnosis komplikasi ini ditegakkan dengan uretroskopi.
4. Infeksi pada
kelenjar Cowper (Cowperitis), dapat menyebabkan abses. Keluhan berupa nyeri dan
adanya benjolan di daerah perineum disertai rasa penuh dan panas, nyeri pada
waktu defekasi, dan disuria. Jika tidak diobati, abses akan pecah melalui kulit
perineum, uretra, atau rektum dan mengakibatkan proktitis.
5. Prostatitis
akut ditandai dengan perasaan tidak enak di daerah perineum dan suprapubis,
malaise, demam, nyeri kencing sampai hematuria, spasme otot uretra sehingga
terjadi retensi urin, tenesmus ani, sulit buang air besar, dan obstipasi. Pada
pemeriksaan teraba pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, nyeri tekan,
dan adanya fluktuasi bila telah terjadi abses. Jika tidak diobati abses akan
pecah, masuk ke uretra posterior atau ke arah rektum mengakibatkan proktitis.
6. Gejala
prostatitis kronik ringan dan intermiten, tetapi kadang-kadang menetap. Terasa
tidak enak di perineum bagian dalam dan rasa tidak enak bila duduk terlalu
lama. pada pemeriksaan prostat teraba kenyal, berbentuk nodus, dan sedikit
nyeri pada penekanan. Pemeriksaan dengan pengurutan prostat biasanya sulit
menemukan kuman gonokok.
7. Vesikulitis
ialah radang akut yang mengenai vesikula seminalis dan duktus ejakulatorium,
dapat timbul menyertai prostatitis akut atau apididimitis akut. Gejala
subyektif menyerupai gejala prostatitis akut, yaitu demam, polakisuria,
hematuria terminal, nyeri pada waktu ereksi atau ejakulasi, dan sperma
mengandung darah. Pada pemeriksaan melalui rektum dapat diraba vesikula
seminalis yang membengkak dan keras seperti sosis, memanjang di atas prostat.
Ada kalanya menentukan batas kelenjar prostat yang membesar.
8. Pada vas
deferentitis atau funikulitis, gejala berupa perasaan nyeri pada daerah abdomen
bagian bawah pada sisi yang sama.
9. Epididimitis
akut biasanya unilateral dan setiap epididimitis biasanya disertaivas
deferentitis. Keadaan yang mempermudah timbulnya epididimitis ini adalah trauma
pada uretra posterior yang disebabkan oleh pengelolaan atau kelalaian pasien
sendiri. Epididimis dan tali spermatika membengkak dan teraba panas, juga
testis, sehingga menyerupai hidrokel sekunder. Pada penekanan terasa nyeri
sekali. Bila mengenai kedua epididimis dapat mengakibatkan sterilitas.
10. Infeksi
asendens dari uretra posterior dapat mengenai trigonum vesika urinaria.
Gejalanya berupa poliuria, disuria terminal, dan hematuria.
b) Pada Wanita
1. Parauretritis.
Kelenjar parauretra dapat terkena, tetapi abses jarang terjadi.
2. Kelenjar
bartholin dan labium mayor pada sisi yang terkena membengkak, merah dan nyeri
tekan, terasa nyeri sekali bila pasien berjalan dan pasien sukar duduk. Abses
dapat timbul dan pecah melalui mukosa atau kulit. Bila tidak diobati dapat
rekurens atau menjadi kista.
3. Salpingitis,
dapat bersifat akut, subakut atau kronis. Ada beberapa faktor predisposisi,
yaitu masa puerpurium, setelah tindakan dilatasi dan kuretase, dan pemakaian
IUD. Infeksi langsung terjadi dari serviks melalui tuba fallopi ke daerah
salping dan ovum sehingga sehingga dapat menyebabkan penyakit radang panggul
(PRP). Gejalanya terasa nyeri didaerah abdomen bawah, duh tuba vagina, disuria,
dan menstruasi yang tidak teratur atau abnormal. PRP yang simtomatik atau
asimtomatik dapat menyebabkan jaringan parut pada tuba sehingga dapat
mengakibatkan infertilitas atau kehamilan diluar kandungan.
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan antara lain
kehamilan di luar kandungan, apendisitis akut, abortus septik, endometriosis,
ileitis regional, dan divertikulitis. Penegakan diagnosis dilakukan dengan
pungsi kavum Douglas, kultur, dan laparoskopi.
2.7
Pemeriksaan Diagnostik
1. Sediaan Langsung
Pada sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan
ditemukan diplokokus gram negatif, intraseluler dan ekstraseluler, leukosit
PMN. Bahan duh tubuh pada pria diambil dari daerah setelah fosa navikularis,
sedangkan pada wanita diambil dari serviks, uretra, muara kelenjar bartholin
dan rektum. Asupan posistif apabila ditemukan diplokokus gram negative
intrasel. Sayangnya, metode pewarnaan ini kurang andal untuk didiagnosis gonore
pada perempuan, pasien asimtomatik dan infeksi direktum atau faring.
2. Kultur
(Biakan)
Untuk memastikan diagnosis harus dilakukan pembiakan
dari semua kemungkinan tempat infeksi. Kuman memerlukan waktu 48 jam – 96 jam
untuk tumbuh dalam biakan, dan berdasarkan anamnesis dan gejala, atau riwayat
pajanan, terapi antibiotic biasanya sudah dimulai sebelum hasil diperoleh,
pembiakan (kultur) menggunakan media yaitu :
§ Media transport, misalnya media stuart dan media transgrow (merupakan
gabungan media transpor dan pertumbuhan yang selektif dan nutritif untuk N.gonorrhoeae dan N.meningitidis).
§ Media pertumbuhan, misalnya Mc
Leod’s chocolate agar, media thayer martin (selektif untu mengisolasi gonokok),
agar thayer martin yand dimodifikasi.
3. Tes
Definitif
§ Tes Oksidasi : Semua golongan
Neisseria akan bereaksi positif
§ Tes fermentasi : Kuman gonokokus
hanya meragikan glukosa
4.
Tes Beta
Laktamase
Hasil tes
positif ditunjukkan dengan perubahan warna kuning menjadi merah apabila kuman
mengandung enzim beta laktamase
5. Tes Thomson
Dengan
menampung urine pagi dalam dua gelas tes ini digunakan untuk mengetahui sampai
dimana infeksi sudah berlangsung.
6. Tes
Amplifikasi DNA
Uji –uji
amplifikasi DNA dengan menggunakan metode teaksi berantai polymerase ( PCR )
dan reaksi berantai ligase ( LCR ) digunakan dengan secret vagina atau servik
atau amplifikasi DNA dapat dilakukan pada specimen urin untuk menghindari rasa
tidak nyaman akibat pengambilan sediaan apusan dari uretra. Sayangnya specimen
urin tidak sesensitif pada permpuan dengan infeksi uretra. Infeksi klamidia
yang sering menyertai infeksi gonorea dapat didiagnosis pada specimen yang
sama. Uji – uji amplifikasi DNA semakin banyak tersedia dan popular karena
tingga sensitifitas dan kemudahan dalam menangani dan mengirim specimen. Uji –
uji non biakan misalnya deteksi antigen dengan antibody limunofluoresensi
langsung ( DFA ) dan enzyme immunosorbent assay ( EIA ) kurang dikembangkan dan
jarang digunakan.
2.8 Penatalaksanaan
1.
Medikamentosa
Karena
meningkatnya insiden yang cukup mengkhawatirkan dari N gonorrhoeae yang resisten terhadap antibiotika, termasuk N gonorrhoeae penghasil penisilinase (
PPNG ) , N gonorrhoeae yang resisten
tetrasiklin ( TRNG ), dan strain dengan resisten yang berperantara kromosom
terrhadap berbagai antibiotika, maka terapi awal dengan sefriakson harus sangat
dipertimbangkan untuk pengobatan infeksi N
gonorrhoeae disemua lokasi anatomis. Uji kepekaan rutin dan uji penilaian
kesembuhan harus diperoleh bila
digunakan regimen yang tidak mengandung seftriaksone.
a) Infeksi
uretra, endoserviks, faring, atau rectum tanpa komplikasi pada orang dewasa
1. Seftriaksone,
25 mg secara intramuscular, sebagai dosis tunggal
2. Bila ada
kemungkinan disertai infeksi klamidia, berikan juga doksisiklin, 100 mg secara
oral 2x sehari selama 7 hari, tetrasiklin 500 mg secara oral 4x sehari selama 7
hari, eritromisin basa / strearat 500 mg secara oral 4x sehari selama 7 hari,
eritromisin etilsuksinat 800 mg secara oral 4x sehari selama 7 hari /
ezitromisin 1 g secara oral sekali.
b) Gonore pada
pasien yang alergi penisilin.
Pada pasien yang tidak dapat menerima seftriakson
berikan spektinomisin, 2 gram secara intramuscular. Alternative lain adalah
siprofloksasin, 500 mg secara oral sebagai dosis tunggal; ofloksasin, 400 mg
secara oral sekali; atau sefiksim, 400 mg secara oral sekali. Hanya kalau infeksi
terbukti dari strain non-PPNG dapat digunakan penisilin misalnya amoksisilin, 3
gram secara oral dengan probenesit 1 gram. Semua regimen ini harus diikuti
dengan doksisiklin, 100 mg 2x sehari selama 7 hari, atau tetraksiklin, 500 mg
secara oral setiap 6 jam selama 7 hari, untuk mengobati infeksi klamidia yang
menyertai. Spektinomisin tidak boleh digunakan untuk mengobati infeksi faring.
Kalau infeksi faring tidak dapat diterapi dengan seftriakson, harus diberikan
siprofloksasin, 500 mg sebagai dosis tunggal.
c) Kontak
seksual sebelum 30 hari sebelumnya harus diperiksa dan diterapi dengan tepat
sesuai dengan protocol terdahulu.
d) Gonore pada
kehamilan.
Berikan seftriakson, 250 mg secara intramuscular
sekali. Bila terdapat alergi penisilin yang membahayakan jiwa, berikan
spektinomisin, 2 gram secara intramuscular. Eritromisin, 500mg 4x sehari selama
7 hari, harus ditambahkan pada semua regimen untuk berjaga-jaga terhadap
kemungkinan infeksi klamidia.
e) Infeksi
gonokokus diseminata.
Biasanya diperlukan perawatan rumah sakit. Salah satu
dari regimen antibiotika berikut sudah memadai.
1. Seftriakson
1 g secara intramuscular atau secara intravena 1x sehari.
2. Sefotaxim 1g
secara intravena setiap 8 jam.
3. Seftizoksim
1 g secara intravena setiap 8 jam.
4. Pasien yang
alergi terhadap obat β laktam harus diterapi dengan spektinomisin, 2 g secara
intramuscular setiap 12 jam.
5. Hanya bila
organism penyebab infeksi itu terbukti peka terhap penisilin, terapi dapat
diganti ampisilin, 1 g setiap 6 jam.
6. Pasien harus
diperiksa untuk mencari ada tidaknya infeksi klamidia dan juga diterapi secara
empiris dengan doksisiklin atau tetrasiklin.
7. Pasien yang
taat dapat dipulangkan 24-48 jam setelah gejala membaik untuk menyelesaikan
seluruh terapi antibiotika selama 7-10 hari dengan sefiksin, 400 mg secara
oral, 2x sehari, atau amoksilin, 500 mg dengan asam klavolanak 3x sehari, atau
pada orang dewasa yang tidak hamil, dengan siprofloksasim, 500 mg 2x sehari.
8. Kegagalan
terapi.
Infeksi yang terjadi setelah terapi dengan seftriakson
biasanya adalah akibat reinfeksi dan bukannya kegagalan regimen terapi . pasien
dengan gejala yang berlanjut setelah terapi yang tepat, harus menjalani
pembiakan N Gonorrhoeae dengan uji kepekaanterhadap semua isolate. Jiak hasil
biakan negative, diagnosis uretritis nongonokokus harus dipertimbangkan dan
diberikan terapi dengan doksisiklin.
2. Nonmedikamentosa
a. Memberikan
pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan tentang:
§ Bahaya
penyakit menular seksual (PMS) dan komplikasinya
§ Pentingnya
mematuhi pengobatan yang diberikan
§ Cara
penularan PMS dan perlunya pengobatan pasangan seks tetapnya hindari seksual
sebelum sembuh, dan memakai kondom jika tak dapat dihindarkan
§ Cara-cara
menghindara infeksi PMS dimasa datang
b.
Pengobatan
pada pasangan seksual tetapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar